I. Latar Belakang
Akhir-akhir ini proses penegakan hukum di dalam masyarakat
kembali menjadi topik yang sangat hangat untuk dibicarakan, keberadaan hukum
yang seharusnya menjadi penyeimbang dalam kehidupan bermasyarakat di
pertanyakan. Bagaimana kekuatan hukum itu mampu mengikat dan berlaku bagi para
subjek dari hukum tersebut, apakah hukum yang di bentuk tersebut mampu di
letakkan pada tempat dimana hukum itu seharusnya berada dan berkerja tanpa
adanya keterbatasan dan hambatan dari hal-hal yang dapat menggangu kinerja hukum
itu sendiri.
Penegakan hukum di segala bidang hukum itu sendiri, harus dilakukan secara
menyeluruh baik dari hukum materiil itu sendiri maupun dari sisi hukum
formilnya. Dari ini sampel yang akan diambil adalah proses penegakan hukum dari
sisi hukum pidana, sisi penegakan hukum melalui proses penyelesaian suatu
perkara tindak pidana itu akan dibahas.
Hukum pidana merupakan suatu bagian dari tatanan hukum yang berlaku di suatu
negara yang berisikan perbuatan yang dilarang atau tindak pidana itu sendiri,
dalam hal apa dan dengan bagaimana seseorang itu dinyatakan melakukan tindak
pidana (pertanggung jawaban pidana) dan pemberian sanksi atas perbuatan pidana
yang dilakukan tersebut.
Perbuatan yang dilarang atau tindak pidana yang dimasksudkan tersebut terbagi
menjadi beberapa ruang lingkup, yakni lingkup tindak pidana umum dan tindak
pidana khusus. Tindak pidana umum merupakan perbuatan piadana yang diatur dalam
KUHP. Sedangkan tindak pidana khusus adalah tindak pidana khusus merupakan
suatu tindak pidana yang diatur diluar KUHP dan pengaturannya menyimpang dari
KUHP.
Tindak pidana khusus tersebut terdiri dari bermacam-macam perbuatan, yakni
seperti tindak pidana korupsi (tipikor), tindak pidana narkotika, psikotopika,
pencucian uang, dan berbagai macam tindak pidana lainnya yang diatur diluar
KUHP. Tindak pidana militer merupakan salah satu tindak pidana yang diluar
KUHP, merupakan tindak pidana khusus dikarenakan militer itu memegang senjata
dan dapat mempergunakan senjata dan serta mempunyai tugas untuk pembelaan dan
pertahanan negara. Maka diperlukan adanya suatu peraturan khusus dalam rangka
pengawasan kinerja militer. Hukum pidana militer dikatakan sebagai hukum pidana
khusus karena dalam hukum pidana militer tersebut terdapat penyimpangan dari
ketentuan pidana umum seperti sanksinya ataupun perbuatan (tindak) pidana itu
sendiri. Meskipun diberlakukan secara khusus namun para anggota militer
tersebut tetap tunduk pada ketentuan umum.
Dengan adanya pengaturan sendiri dan menyimpang, tentunya proses penyelsesaian
perkara yang ada terdapat perbedaan, penyelesaian perkara tindak pidana umum
dengan penyelesaian perkara tindak pidana militer pun mempunyai proses
penyelesaian yang berbeda-beda. Proses penyelesaian tindak pidana umum
menggunakan uu no.8 tahun 1981 (KUHAP) sebagai hukum formil dari penerapan
hukum materiil tindak pidana umum yakni KUHP. Hukum acara peradilan militer
diatur dalam tempat pengaturan yang sama dengan ketentuan materiil dari pidana
militer itu sendirai yakni di dalam undang-undang no.31 tahun 1997 tentang
peradilan militer.
Hukum pidana militer merupakan bagian dari hukum militer, yakni suatu
peraturan-peraturan khusus yang hanya berlaku bagi angota militer itu sendiri.
Hukum pidana militer merupakan bagian dari hukum militer itu sendiri
Dengan konteks militer sebagai objek dari perundang-undangan tersebut, menurut
pasal 9 angka1 UU no.31 tahun 1997 memberi batasan kepada pihak-pihak yang
diperiksa dan diadili di peradilan militer. Pihak-pihak tersebut adalah :
1. Prajurit, yakni militer murni dan masih aktif dalam organisasi TNI
2. Orang-orang yang disamakan dengan prajurit menurut undang-undang
3. Anggota dari badan atau organisasi atau jawatan yang di persamakan dengan
prajurit menurut undang-undang
Berarti militer itu mempunyai cakupan yang luas, namun dalam perudang-undangan
mempunyai batasan kepada pihak-pihak mana yang dapat diadili dalam peradilan
militer itu sendiri.
Hukum pidana merupakan hukum publik yang mengikat bagi siapa saja, pemberlakuan
hukum pidana yang bersifat publik tersebut menunjukan kewenangannya berlaku
bagi setiap orang yang melanggar ketentuan yang ada di dalam kitab
undang-undang hukum pidana. hukum pidana ini berlaku secara umum, berbeda
dengan hukum pidana yang berlaku secara khusus namun ketentuan yang diatur secara
khusus tersebut memang menyimpang dari KUHP tetapi tidak boleh bertentangan
dengan KUHP itu sendiri.
Pengaturan khusus untuk TNI tersebut dikarenakan TNI dibebani kewajiban inti
dalam pembelaan dan pertahanan negara sehingga memerlukan suatu pemeliharaan
ketertiban yang lebih berdisiplin dalam organisasinya, sehingga seolah-olah TNI
merupakan kelompok tersendiri untuk melaksanakan tujuan tugasnya yang pokok,
untuk itu diperlukan suatu hukum atau peraturan yang khusus dan peradilan yang
tersendiri yang terpisah dari peradilan umum.
Suatu kekhususan dalam penyelesaian suatu perkara yang dilakukan oleh seorang
anggota TNI ialah bahwa peranan komandan yang bersangkutan tidak boleh
diabaikan, bahkan ada kalanya lebih di dahulukan daripada peranan pertugas penegak
keadilan (PM,Oditur Militer, Hakim Militer).
Salah satu bagian yang dipelajari dalam hukum acara pidana ialah mengenai
yurisdiksi (kewenangan untuk memeriksa dan mengadili) dan justisiabel (orang
yang tunduk dan ditundukan pada kekuasaan badan peradilan tertentu). Yurisdiksi
badan peradilan militer tidak sama dengan yurisdiksi badan peradilan umum. Hal
ini terutama adalah sebagai akibat dari pembagian daerah komando militer,
dimana para pemegang komando tersebut merupakan PAPERA kepada pengadilan militer.
II. Perumusan Masalah
Berangkat dari latar belakang masalah sebagaimana yang
telah dikemukakan diatas, maka perumusan masalah yang dijadikan bahasan dalam
tulisan ini adalah penyelesaian perkara tindak pidana umum yang dibandingkan
dengan penyelesaian perkara tindak pidana militer, peraturan-peraturan ataupun
hukum positif yang berlaku.
III. Manfaat Penelitian
Agar masyarakat umum dan khususnya bagi orang-orang yang
terikat dengan justisiabel peradilan umum ataupun peradilan militer agar
mendapat sedikit tambahan mengenai adanya perbedaan proses penyelesaian perkara
diantara tindak pidana umum dan tindak pidana militer. Selain itu manfaat dari
penulisan ini yaitu semoga penulisan ini dapat membantu dalam proses penegakan
hukum yakni dengan membaca tulisan ini masyarakat menjadi tercegah untuk
melakukan kejahatan atau tindak pidana apapun dan agar masyarakat dapat
berpikir kembali apabila mereka ingin melakukan suatu kejahatan ini dan tidak
berusaha melakukannnya sehingga tidak menyesal dikemudian hari.
IV. Tinjauan Pustaka
Adanya pemisahan lembaga peradilan diantara peradilan umum
dengan peradilan militer menimbulkan suatu pengaturan yang baru dan berbeda.
Adanya pemisahan ini di sebabkan karena Militer adalah orang terdidik, dilatih
dan dipersiapkan untuk bertempur. Karena itu bagi mereka diadakan norma-norma
atau kaidah-kaidah yang khusus. Mereka harus tunduk tanpa reserve pada tata
kelakuan yang ditentukan dengan pasti dan yang pelaksanaannya di awasi dengan
ketat.Beberapa pihak menganggap bahwa yang terpenting bagi militer adalah
disiplin. Itu benar, tetapi hendaknya jangan lupa bahwa salah satu unsur untuk
menegakkan disiplin itu adalah hukum. Karenanya hukum itu secara tidak langsung
menyelenggarakan pemeliharaan disiplin militer.Pengadilan Militer sebagai wujud
nyata bagi masyarkat umum adalah lembaga penegakan hukum/displin bagi para
anggota militer. Pelaksanaan peradilan militer didalam lingkungan masing-masing
angkatan seperti yang ada sebelumnya tetap berlaku hingga pada awal 1973.Tahun
1970 lahirlah UU No. 14 tahun 1970 menggantikan UU No. 19 tahun 1964 tentang
ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman. Undang-undang ini mendorong
proses integrasi peradilan di lingkungan militer. Baru kemudian berubah ketika
dikeluarkan berturut-turut;
a. Keputusan bersama menteri kehakiman dan menteri pertahanan/Pangab pada
tanggal 10 Juli 1972 No. J.S.4/10/14 – SKEB/B/498/VII/72
b. Keputusan bersama menteri kehakiman dan menteri pertahanan keamanan pada
tanggal 19 maret 1973 No. KEP/B/10/III/1973 – J.S.8/18/19. Tentang perobahan
nama, tempat kedudukan, daerah hukum, jurisdiksi serta kedudukan organisatoris
pengadilan tentara dan kejaksaan tentara.
Barulah kemudian peradilan militer dilaksanakan secara terintegrasi. Pengadilan
militer tidak lagi berada di masing-masing angkatan tetapi peradilan dilakukan
oleh badan peradilan militer yang berada di bawah departemen pertahanan dan
keamanan. Kemudian berdasar dari SK bersama tersebut, maka nama peradilan
ketentaraan di adakan perubahan. Dengan demikian, maka kekuasaan kehakiman
dalam peradilan militer dilakukan oleh:
1. Mahkamah Militer (MAHMIL)
2. Mahkamah Militer Tinggi (MAHMILTI)
3. Mahkamah Militer Agung (MAHMILGUNG).
Pada tahun 1982 dikeluarkan Undang-undang No. 20 tahun 1982 tentang ketentuan
pokok pertahanan keamanan negara RI yang kemudian diubah dengan undang-undang
No 1 tahun 1988. Undang -undang ini makin memperkuat dasar hukum keberadaan
peradilan militer. Pada salah satu point pasalnya dikatakan bahwa angkatan
bersenjata mempunyai peradilan tersendiri dan komandan-komandan mempunyai
wewenang penyerahan perkara.Hingga tahun 1997 hampir tidak ada perubahan yang
signifikan dalam pelaksaanan peradilan militer di Indonesia.
Pada tahun 1997 diundangkan UU No. 31 tahun 1997 tentang peradilan militer.
Undang-undang ini lahir sebagai jawaban atas perlunya pembaruan aturan
peradilan militer, mengingat aturan sebelumnya dipandang tidak sesuai lagi
dengan jiwa dan semangat undang-undang No. 14 tahun 1970 tentang ketentuan
pokok kekuasaan kehakiman. Undang-undang ini kemudian mengatur susunan
peradilan militer yang terdiri dari;
a. Pengadilan Militer
b. Pengadilan Militer Tinggi
c. Pengadilan Militer Utama
d. Pengadilan Militer Pertempuran.
Dengan diundangkannya ketentuan ini, maka Undang-undang Nomor 5 tahun 1950
tentang susunan dan kekuasaan pengadilan/kejaksaan dalam lingkungan peradilan
ketentaraan, sebagaimana telah diubah dengan UU. No. 22 PNPS tahun 1965
dinyatakan tidak berlaku lagi. Demikian halnya dengan UU No. 6 tahun 1950
tentang Hukum Acara Pidana pada pengadilan tentara, sebagaimana telah di ubah
dengan UU No 1 Drt tahun 1958 dinyatakan tidak berlaku lagi.
Dengan adanya karakteristik yang berbeda itulah maka militer membuthkan
pengaturan yang berbeda.beberapa ketentuan yang berbeda dalam hal penyelesaian
antara tindak pidana umum dengan tindak pidana militer :
1. ketentuan dalam pasal 6 KUHAP menyebutkan “ yang dimaksud dengan penyidik
adalah : a. Pejabat polisi negara Republik Indonesia. b. Pejabat pegawai negeri
sipil tertentu yang diberi kewenangan oleh undang-undang.”. dalam ketentuan
pasal 69 ayat (1) undang-undang no.31 tahun 1997 menyebutkan “ yang dimaksud
dengan penyidik adalah : a. Atasan yang berhak menghukum, b. Polisi Militer, c.
Oditur.” Sedangkan dalam ketentuan pasal 69 ayat (2) undang-undang no.31 tahun
1997 menyebutkan “ yang dimaksud dengan penyidik pembantu adalah : a. Provos
Tentara Nasional Indonesia Angkatan Darat, b. Provos Tentara Nasional Indonesia
Angkatan Laut, c. Provos Tentara Nasional Indonesia Angkatan Udara, d. Provos
Kepolisian Negara Republik Indonesia.” Dalam ketentuan diatas memperlihatkan
adanya letak perbedaan dalam lembaga penyidikan yang berada dalam lingkungan
peradilan umum dan lembaga peradilan militer. Penyidikan dalam lembaga
peradilan umum dilakukan oleh penyidik dari Kepolisian Negara Republik
Indonesia dan juga bisa dilakukan oleh pegawai negeri sipil yang diberikan
wewenang oleh undang-undang. Sedangkan dalam lembaga peradilan militer
penyidikan dilakukan oleh tiga (3) lembaga yakni atasan yang berhak menghukum
(ANKUM), Polisi Militer dan Oditur. Adanya perbedaan dalam penanganan
penyidikan di lembaga peradilan yang berbeda menyebabkan adanya perbedaan
kewenangan dan kewajiban pula di tiap lembaga penyidik tersebut. Dan juga dalam
lembaga penyidikan peradilan militer mempunyai penyidik tambahan yang mempunyai
tugas sendiri.
2. ketentuan dalam pasal 18 ayat (1) KUHAP menyebutkan “ pelaksanaan tugas
penangkapan dilakukan oleh petugas Kepolisian Negara Republik Indonesia dengan
memperlihatkan surat tugas serta memberikan kepada tersangka surat perintah
penahanan yang mencantumkan identitas tersangkadan menyebutkan alasan
penangkapan serta uraian singkat perkara kejahatan yang di persangkakan serta
tempat ia diperiksa.” Sedangkan ketentuan dalam pasal 77 undang-undang no.31 tahun
1997 menyebutkan “Pelaksanaan tugas penangkapan dilakukan oleh Penyidik atau
anggota Polisi Militer atau anggota bawahan Atasan yang Berhak Menghukum yang
bersangkutan dengan memperlihatkan surat perintah penangkapan yang mencantumkan
identitas Tersangka, menyebutkan alasan penangkapan, uraian singkat perkara
kejahatan yang dipersangkakan, dan tempat ia diperiksa.” . proses peangkapan
dalam lembaga peradilan umum dilakukan oleh Kepolisian sedangkan dalam
lembagaperadilan militer penangkapan dilakukan oleh bawahan dari atasan yang
berhak menghukum ataupun dari polisi militer. Dan dilam kententuan pasal 77
ayat (4) menyebutkan “ sesudah penangkapan dilakukan. Penyidik wajib melaporkan
kepada atasan yang berhak menghukum yang bersangkutan.” Dapat terlihat bahwa
atsan mempunyai peranan penting terhadap anak buahnya, ini merupakan salah satu
karakteristik mengapa militer ini dibedakan dari masyarakat sipil pada umumnya.
3. ketentuan dalam pasal 21 ayat (4) KUHAP menyebutkan “ penahan tersebut hanya
dapat dilkenakan terhadap tersangka atau terdakwa yang melakukan tindak pidana
percobaan maupun pemberian bantuan dalam tindak pidana tersebut dalam hal : a.
tindak pidana itu diancam dengan pidana penjara lima taun atau lebih ; b.
tindak pidana sebagaimana dimaksudkan dalam pasal 282 ayat (3), pasal 296,
pasal 335 ayat (1), pasal 351 ayat (1), pasal 353 (1), pasal 372, pasal 378,
pasal 379 a, pasal 453, pasal 454, pasal 455, pasal, 459, pasal 480 dan pasal
506 kitab undang-undang hukum pidana, pasal 25 dan pasal 26 rechtenordonantie
(pelanggaran terhadap ordonansii bea dan cukai terakhir diubah dengan staatblad
nomor 471 tahun1931), pasal 1, pasal 2 dan pasal 4 undang-undang tindak pidana
imigrasi (undang-undang Drt tahun 1955, lembaran negara tahun 1955 nomor 8),
pasal 36 ayat (7), pasal 41, pasal 42, pasal 43, pasal 47 dan pasal 48
undang-undang No.9 tahun 1976 tentang narkotika (lembaran negara tahun 1976
nomor 37, tambahan lembaran negara nomor 3086).” Sedangkan ketentuan didalam
pasal 79 ayat (2) undang-undang No.31 tahun 1997 menyebutkan :“ Penahanan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat dikenakan terhadap Tersangka
yang disangka melakukan tindak pidana dan/atau percobaan maupun pemberian
bantuan dalam tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 3 (tiga) bulan
atau lebih.”. Penahanan yang dimaksudkan dalam lembaga peradilan umum dengan
pasal diatas untuk pemberian bantuan dalam tindak pidana yang diancam 5 tahun
sedangkan dalam lembaga peradilan militer pemberian bantuan tindak pidana yang
diancam 3 bulan atau lebih.
4. ketentuan dalam pasal 24 KUHAP menyebutkan “(1)Perintah penahanan yang
diberikan oleh penyidik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20, hanya berlaku
paling lama dua puluh hari. (2)Jangka waktu sebagaimana tersebut pada ayat (1)
apabila diperlukan guna kepentingan pemeriksaan yang belum selesai, dapat
diperpanjang oleh penuntut umum yang berwenang untuk paling lama empat puluh
hari. (3)Ketentuan sebagaimana tersebut pada ayat (1) dan ayat (2) tidak
menutup kemungkinan dikeluarkannya tersangka dari tahanan sebelum berakhir
waktu penahanan tersebut, jika kepentingan pemeriksaan sudah terpenuhi.
(4)Setelah waktu enam puluh hari tersebut, penyidik harus sudah mengeluarkan
tersangka dari tahanan demi hukum.”. sedangkan ketentuan dalam pasal 78 undang-undang
no.31 tahun 1997 menyebutkan “(1) Untuk kepentingan penyidikan Atasan yang
Berhak Menghukum dengan surat keputusannya, berwenang melakukan penahanan
Tersangka untuk paling lama 20 (dua puluh) hari. (2) Tenggang waktu sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) apabila diperlukan guna kepentingan pemeriksaan, dapat
diperpanjang oleh Perwira Penyerah Perkara yang berwenang dengan keputusannya
untuk setiap kali 30 (tiga puluh) hari dan paling lama 180 (seratus delapan
puluh) hari. (3) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2)
tidak menutup kemungkinan dikeluarkannya Tersangka dari tahanan sebelum
berakhir waktu penahanan tersebut, apabila kepentingan pemeriksaan sudah
dipenuhi. (4) Sesudah waktu 200 (dua ratus) hari, Tersangka harus sudah dikeluarkan
dari tahanan demi hukum. “.
5. ketentuan dalam pasal 31 ayat (1) menyebutkan “Atas permintaan tersangka
atau terdakwa, penyidik atau penuntut umum atau hakim, sesuai dengan kewenangan
masing-masing, dapat mengadakan penangguhan penahanan dengan atau tanpa jaminan
uang atau jaminan orang, berdasarkan syarat yang ditentukan.”. sedangkan
ketentuan dalam pasal 81 ayat (1) undang-undang no.31 tahun 1997 menyebutkan
“Atas permintaan Tersangka, Atasan yang Berhak Menghukum atau Perwira Penyerah
Perkara sesuai dengan kewenangan masing-masing berdasarkan saran Polisi Militer
atau Oditur dapat mengadakan penangguhan penahanan dengan persyaratan yang
ditentukan.”. dalam ketentuan diatas tersebut terdapat perbedaan mengenai
penangguhan penahanan, bagaima cara atau bagaimana penangguhan penahan itu
diberikan kepada tersangka.
6. ketentuan dalam pasal 31 ayat (2) menyebutkan “Karena jabatannya penyidik
atau penuntut umum atau hakim sewaktu-waktu dapat mencabut penangguhan
penahanan dalam hal tersangka atau terdakwa melanggar syarat sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1). Sedangkan ketentuan dalam pasal 81 ayat (2)
undang-undang no.31 tahun 1997 menyebutkan “Karena jabatannya, Atasan yang
Berhak Menghukum atau Perwira Penyerah Perkara sewaktu-waktu dapat mencabut
penangguhan penahanan dalam hal Tersangka melanggar persyaratan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1).”. sebagaimana ketentuan diatas mengatur mengenai
pencabutan penangguhan penahanan, sebab-ssebab pencabutan penahan dan juga
siapa yang dapat mencabut penangguhan tersebut telah diatur dalam ketentuan
pasal-pasal diatas.
Dalam kedua undang-undang yang berbeda mengatur mengenai proses penyelesaian
perkara tindak pidana umum dan peroses penyelesaian tindak pidana militer.
V. Kesimpulan
Dari paparan makalah diatas yang mengangkat tema
perbandingan proses penyelesaian perkara dalam lingkup peradilan umum dengan
proses penyelesaian perkara dalam lingkup peradilan militer dapat diambil
kesimpulan sebagai berikut :
1. antara militer dengan sipil mempunyai perbedaan yang mendasar, yakni
bagaimana dalam militer ditempa dan menjalani kehidupan yang mempunyai disiplin
prajurit serta kode kehormatan prajurityang harus dijaga dengan sikap yang
tentunya masyarakat sipil mempunyai cara yang lebih bebas dalam menjalaninya.
Serta bagaimana militer dipersenjatai sehingga mereka memang harus dibedakan
dari masyarakat sipil.
2. Sejak kemerdekaan RI hingga saat sekarang ini, peradilan militer telah
menjalani perubahan berkali-kali, baik dari segi penamaan, tingkatan maupun
kewenangan mengadili. Hal ini ditandai dengan lahirnya beberapa peraturan
tentang peradilan militer, yang pada akhirnya lahir UU No. 31 tahun 1997.
3. tentang Peradilan Militer, yang mencabut dan menyatakan tidak berlaku lagi
beberapa peraturan sebelumnya.
4. Militer sebagai orang terdidik, dilatih dan dipersiapkan untuk bertempur,
bagi mereka diadakan norma-norma yang khusus. Mereka harus tunduk tanpa reserve
pada tata kelakuan yang telah ditentukan dan diawasi dengan ketat. Karena
kekhususan dalam mengemban tugas ini, mengakibatkan terjadinya pemisahan
peradilan anggota tentara dengan masyarakat umum. Penegakan disiplin yang
sangat ketat dan harus dipertanggung jawabkan di lembaga khusus jika melanggar.
Mereka diadili dengan aturan yang khusus berlaku bagi mereka dengan tidak
mengesampingkan kenyataan yang hidup ditengah masyarakat.
Sekian makalah ini dituliskan.
DAFTAR PUSTAKA
• Faisal salam, Moch, 1996. HAPM di Indonesia, hal.11, mandar maju, Bandung
• S.R Sianturi.op.cit.hal 35.
• Nating, Irman, S.H,Sejarah peradilan militer di indonesia,Solusi Hukum.com,
2003
• Undang-undang No.8 tahun 1981 tentang kitab undang-undang acara hukum pidana
indonesia
• Undang-undang No.31 tahun 1997 tentang peradilan militer
• Tap MPR no. 7 tahun 2000
Tidak ada komentar:
Posting Komentar